secara harfiah kita semua telah paham bahwasanya keshalehan merupakan pribadi yang diinginkan oleh umat beragama. Dalam menjalankan keshalehan kita memerlukan pemahaman yang menyangkut keterkaitan antar konsep. Menurut Richard T. Schaefer (1989), nilai yang di dalam bahasa Inggris disebut “Values” adalah :“ collective conceptions of what considered good, desirable, and proper or – bad, undesirable and improper – in culture”. Untuk hubungan antara nilai dengan “praktek” (baca: prilaku) Richard T. Schaefer menyatakan bahwa : “values influence people’s behaviour and serve as criteria for evaluating the actions of others”. Apa yang dikemukakan oleh Schaefer tersebut didasarkan kepada asumsi bahwa “nilai” sudah “internalized”. Sebab pada kenyataannya “nilai” sebagai “considered good …………..”, bisa saja hanya berada dalam tataran pemikiran, kata-kata atau sesuatu yang dianggap normatif belaka, atau “nilai” tersebut kalaupun ada, keberadaannya dalam keadaan “dormant” atau tidur; dan tidak diketahui lagi oleh masyarakat.
Pada zaman sekarang banyak orang dalam sebuah kelompok(organisasi) atau sebagai individu yang secara “pengetahuan” mengenal baik-buruk, namun di dalam kehidupan kesehariannya, hanyalah sisi buruknya saja yang dipraktekan bahkan dengan sengaja terkadang menjadikan “nilai” yang ada mempunyai arti yang multitafsir. Semua orang tahu, bahwa secara “nilai”, korupsi itu dilarang oleh agama dan hukum negara, namun pada kenyataannya orang yang tahu “nilai” korupsi itu salah, tetap saja mempraktekkan korupsi. Dalam konteks ini sebenarnya bisa juga disebutkan bahwa “nilai” yang dipraktekkan untuk korupsi jauh lebih terinternalisasi dibanding dengan “nilai” yang “benar”. Karena “nilai” itu juga merupakan :…….. serve as criteria for evaluating the actions of others” , maka kalau terdapat “nilai-nilai” salah, tetapi secara mayoritas banyak pengikutnya, maka nilai-nilai yang salah itu bisa dianggap benar (di Indonesia korupsi konon sudah dianggap sebagai budaya).
Agar dalam sebuah kelompok(organisasi) atau sebagai individu menjadi lebih baik sebaiknya dalam keseharian mempunyai nilai-nilai moral tinggi dan mampu menjalankan.
1. keshalehan aqidah = Ini merupakan inti dan ruh ketegaran. Untuk memperoleh keshalihan aqidah, seorang muslim harus memiliki keyakinan dapat menjalankan tauhid Rububiyah (tauhid yang mengakui adanya allah), tauhid Uluhiyah (tauhid ibadah, tauhid Al Iradah dan Al Qasdu (keinginan dan tujuan)), Tauhid Asma dan Sifat Artinya, kita menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah menetapkan untuk diri-Nya, serta meniadakan sifat-sifat cacat dan kurang yang telah Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tiadakan dari diri-Nya, dengan tanpa mengubah, meniadakan, menanyakan hakekatnya, dan menyamakan dengan makhluk-Nya. Karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11). keshalehan aqidah menjadi momentum penting yang mengarahkan otentisitas perjalanan hidup manusia. Nuansa spiritual begitu kental mengiringi perjalanannya dan menjadikannya sebagai modal bagi manusia untuk menjalin kedekatan diri dengan Tuhannya. Sebagai wujud dari dimensi ruhaniah-spiritual, kewajiban melaksanakan salat sebagai bukti realisasi keimanan dan ketakwaan ke hadirat-Nya, guna menjadi landasan hidup agar berjalan lebih otentik. Otentisitas hidup ini perlu ditanamkan kuat-kuat kepada Tuhan, sehingga muncul kesadaran ketuhanan (God consciousness) untuk dijadikan pijakan dalam menyongsong perjalanan hidup ini. Kesadaran ketuhanan inilah yang menjadi pancaran tauhid yang menerangi arah perjalanan hidup manusia dan sekaligus menghilangkan hasrat ketergantungan kepada unsur-unsur lain. Untuk menjaga eksistensi spiritual diperlukan pembersihan batin manusia secara konstan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai keimanan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual. Kesadaran inilah yang membentuk karakter kesalehan spiritual dalam diri manusia. Fenomena yang berkembang selama ini orang yang secara individual dianggap saleh, ternyata dalam lingkup sosial kemasyarakatan kesalehan tersebut tidak teraktualisasikan. Hal ini terkesan ada jarak yang memisahkan antara kepentingan yang sifatnya individual dan kepentingan sosial. Padahal agama mengajarkan perlunya keseimbangan antara aspek lahiriah dan batiniah, individual dan sosial kemasyarakatan, maupun duniawi dan ukhrawi. Sudah seharusnya kesalehan tersebut menjadi etika personal-individual yang terobjektivikasikan ke dalam dimensi publik yang membentang luas. Manusia yang menangkap kompleksitas spirit dimensi ini, diharapkan mampu merefleksikan kesalehan spiritual yang sifatnya personal-individual ke dalam ruang lingkup kesalehan publik dan sosial. Inilah bentuk ujian yang sebenarnya dalam mengaktualisasikan dimensi kesalehan spiritual ke hadirat Tuhan. Jika kita selama ini secara individu sudah merasa saleh secara spiritual, ujian terpenting justru menerjemahkan kesalehan tersebut ke ruang publik. Jika berhasil, maka akan terwujud keharmonisan antara kehidupan manusia selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat dan sekaligus memberi kontribusi positif dalam membentuk keharmonisan hidup bermasyarakat dan bernegara.
2. keshalehan Ibadah = Dalam Islam, ibadah adalah penghubung antara seorang hamba dengan Allah, yang merupakan puncak ketundukan dan kepasrahan total terhadap kebesaran-Nya. Ibadah tidak terbatas dalam bentuk shalat, puasa, zakat dan haji, tapi meliputi seluruh amal dan kegiatan seseorang dalam hidupnya. Seperti disebutkan dalam firman Allah swt, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Allah RabbulAlamin. ” (QS. Al-An’am : 163). Untuk memperoleh keshalehan dalam ibadah seorang muslim harus menjadikan semua dimensi kehidupannya hanya berorientasi pada keridhaan Allah swt. Secara praktek hal itu dijelaskan oleh Rasulullah SAW, “Engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihat engkau.” Selain itu ibadah harus dilakukan sepenuh hati dan khusyu’. Rasulullah SAW, menurut Aisyah ra, “bila datang waktu shalat dan kami sedang berbicara, seolah-olah ia tidak mengenal kami dan kami tidak mengenalnya.” Ibadah yang kering dari suasana khusyu’, dan tidak dibarengi dengan niat ikhlash yang kuat, bisa menjadi tidak bernilai di hadapan Allah. “Berapa banyak orang yang melakukan shalat, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya selain kelelahan dan kepenatan,” begitu sabda Rasulullah SAW. Keshalihan dalam beribadah juga bisa bermakna, dengan memperbanyak dan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT, melalui ragam ibadah sunnah. Sebab melaksanakan ibadah sunnah seperti itu, dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, akan menjadi syarat kecintaan Allah pada hamba-Nya. Dan bila Allah sudah cinta pada hamba-Nya, “Maka Aku akan menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar. Aku akan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat. Aku akan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menghela. Aku akan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan bila ia meminta kepada-Ku, pasti Aku akan memberinya. Bila ia meminta perlindungan-Ku, pasti Aku akan melindunginya….” (HR. Muslim).
3. keshalehan akhlak = Keshalihan dalam aspek ini sebenarnya merupakan buah dari keshalihan aqidah dan ibadah. Artinya, keshalihan dalam aqidah dan beribadah otomatis melahirkan keshalihan dalam akhlak dan prilaku. Akhlak yang baik adalah bukti keimanan. Tak ada arti iman tanpa akhlak yang baik. Banyak cara untuk memiliki keshalihan akhlak. Antara lain dengan memelihara diri dari berbagai bentuk syubuhat, atau perkara yang tidak jelas hukum halal dan haramnya. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah saw pernah mengingatkan bahwa kecerobohan dalam melakukan sesuatu yang syubuhat, dapat menggelincirkan pelakunya kepada dosa. “Barangsiapa yang memelihara diri dari syubuhat, berarti ia telah memelihara agama dan kehormatannya,” kata Rasulullah saw. Bentuk lainnya adalah menundukkan pandangan dari segala sesuatu yang diharamkan memandangnya. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani, Rasulullah saw bersabda, “Tundukkanlah pandangan kalian, dan peliharalah kemaluan kalian. Atau kalau tidak Allah akan memburukkan wajah kalian.” Selain itu, seorang muslim harus berusaha memelihara lidahnya dari berkata yang sia-sia, apalagi yang terlarang. Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah, hendaknya setiap orang memelihara lidahnya dari berkata apapun, kecuali perkataan yang jelas maslahatnya. Bahkan jika setelah ditimbang berkata dan diam itu sama saja manfaatnya, sebaiknya dipilih diam daripada berbicara.” Karena, menurut Imam Nawawi, “Banyak perkataan yang dibolehkan lalu berubah menjadi makruh dan haram.” Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa yang banyak bicaranya, akan banyak tergelincirnya. Dan barangsiapa yang banyak tergelincirnya, banyak dosanya. Dan barangsiapa yang banyak dosanya, niscaya nerakalah tempat yang layak untuknya.” (HR. Baihaqi). Termasuk shalih dalam akhlak adalah bersikap sabar dan pemaaf. Perjalanan hidup seseorang, apalagi seorang da’i, kerap dihiasi ujian kesulitan dan penderitaan. Tapi itulah sunnatullah dalam da’wah. Karenanya setiap muslim dianjurkan memiliki sikap sabar dan pemaaf dalam menyikapi berbagai persoalan. Tentang ketinggian nilai sabar dan lemah lembut di hadapan Allah, pernah disabdakan oleh Rasulullah saw, “Sesungguhnya derajat orang pemaaf itu sama dengan derajat orang yang berpuasa dan bangun malam.” Rasulullah juga bersabda, “Apakah kalian ingin kuberitakan dengan sesuatu amal yang akan menjadikan Allah mengangkat seseorang beberapa derajat? Maafkan orang yang berbuat bodoh kepadamu. Memaafkan orang yang mendzalimimu. Memberi orang yang tidak memberimu. Dan menyambung hubungan orang yang memutuskan hubungan denganmu,”
4. keshalihan keluarga = Tingkat keshalihan secara pribadi, harus tercermin pada keshalihan keluarga. Karena keluarga Islam, dibangun di atas amanah Allah yang akan dimintakan tanggung jawabnya di akhirat. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di sana ada malaikat yang kasar dan keras yang tidak akan mengelak perintah Allah kepada mereka dan mereka melakukan apa yang diperintahkan.” (QS. at-Tahrim : 6). Dan karena keluarga adalah miniatur masyarakat, maka keshalihan keluarga pasti berdampak pada keshalihan masyarakat. Keshalihan dalam keluarga sangat bergantung pada keshalihan individunya, terutama suami sebagai kepala rumah tangga. Untuk memperoleh keshalihan dalam berkeluarga, sejak awal seorang muslim harus menjadikan motivasinya berkeluarga adalah dalam kerangka taat kepada Allah swt, menjaga pandangan dan memelihara kehormatannya. Bila ini dilakukan, maka Allah SWT akan menjamin kebutuhannya. Seperti sabda Rasulullah saw, “Ada tiga golongan yang Allah berhak menolong mereka. Mujahid fi sabilillah, orang yang berhutang yang ingin membayar hutangnya, dan orang yang menikah untuk memelihara kehormatannya.” (HR. Turmudzi).
Selain hal-hal di atas, masih banyak kiat-kiat lain untuk memperoleh keshalihan. Untuk hal-hal yang sifatnya sangat teknis, bisa jadi setiap orang punya kebiasaan masing-masing. Sebagaimana setiap orang -bila ia mau jujur–pasti tahu kapan saat-saat keshalihannya sedang goncang dan dengan apa ia bisa disembuhkan. Semoga Allah Swt memudahkan kita untuk mencapai derajat keshalehan di atas.