Dalam kegelapan malam yang kelam, aku terdiam membisu. Tak tahu apa yang akan aku perbuat, dan tak mengerti apa yang harus aku cari. Entah kemana kini aku harus berjalan. Kakiku terlalu berat untuk melangkah. Suara bising kendaraan terlalu mengusik kediamanku. Saat ini aku hanya ingin ketenangan dan kedamaian yang kan menyelimuti gundah jiwaku. Terkadang aku ingin menyanyikan lagu patah hati yang saat ini aku rasa, namun suaraku terasa sumbang walau untuk aku dengar sendiri. Keadaan ini terlalu membuat hidupku seolah mati.
Siang tadi, cinta yang kuharap kan abadi singgah dalam hatiku telah berlalu meninggalkanku terkapar dalam kepedihan. Terlalu munafik rasanya bila aku harus menganggapnya suatu hal yang biasa. Terlalu indah bila harus kuhapuskan begitu saja dari memori kenanganku.
“Sudahlah, relakan semuanya pergi. Kau takkan dapat hidup dalam kesedihan untuk selamanya”. Hembusan angin malam yang ikut merasakan lara batinku seakan memberikan pitutur nasehat kepadaku.
“tak mungkin aku harus melupakannya. Terlalu sombong bila aku saat ini juga harus merelakan kepergiannya”. Jiwaku yang telah terkoyak berteriak menjawabnya.
Mentari yang menebarkan sinar kedamaian telah merasuk ke dalam setiap celah-celah kamarku. Memberikan isyarat jika hari ini aku harus bangkit dan mengahadapi duniaku kembali. Selesai mandi dan siap-siap, kemudian jalanan yang telah ramai sudah menerimaku menjadi bagiannya. Sesampainya di gerbang sekolah, ternyata suasana telah ramai. Dan tak sadar di belakangku telah berdiri teman karibku yang bernama Wawan.
“sabar sob, mungkin dia memang bukanlah yang terbaik bagi hidupmu”. Wawan memberikan support kepadaku dalam menghadapi masalah ini. sob adalah sapaan akrab kami berdua. Sebab namaku adalah Obie.
“yups, Thanks ya?”. Jawabku singkat tanpa ekspresi.
“Tuhan itu Maha Tahu apa yang dibutuhkan dan terbaik bagi hamba-Nya”. Wawan melanjutkan nasihatnya sambil berjalan mengikuti langkah kakiku menuju ke kelas yang mulai ramai.
Siang sepulang sekolah kemarin, seorang cewek yang bernama Jingga telah meninggalkan aku. Memang belum terhitung lama kami tertaut dalam tali asmara ini. Baru satu tahun. Namun bagiku Jingga telah mengisi sebagian kekosongan jiwaku. Alasan yang ia utarakan untuk perpisahan aku dengannya memang masalah yang tak dapat dielakkan lagi. Jingga telah termakan budaya zaman Siti Nurbaya. Ia telah dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Meski alasan itu dapat aku terima, namun itu terlalu sulit untuk masuk ke dalam alam fikir sadarku.
Aku hanya mampu diam dan menundukkan kepala ketika ia mengutarakan maksud dan alasannya untuk meninggalkan aku. Dalam hati aku selalu berharap yang terjadi saat itu adalah sebuah mimpi. Dan tak kan pernah terjadi dalam hidupku. Tapi itulah kenyataan. Datang untuk dihadapi bukan untuk dihindari, meski harus menyisakan perih di hati..
Hamparan-hamparan tanah luas yang dulu pernah menjadi tempat kami saling berbagi dan becerita kini tinggallah saksi bisu yang kusam. Syair-syair puisi yang dulu ku rangakai untuknya saat ini hanyalah kata-kata lusuh yang menyumpal gendang telinga bila dilantunkan. Harapan-harapan yang dulu kita ucapan sekarang tak lain adalah kenangan yang menyakitkan.
“kuda apa yang paling membuat aku merasa bahagia?”. Ucap Jingga tiba-tiba dengan manja, tiga hari sebelum menyatakan perpisahan denganku di atas sebuah bukit yang terletak tak jauh dari kawasan kota Jogja
“em. . ., apa yach . . .?”. jawabku sok bingung. Padahal menurutku jawaban itu tak begitu berarti, yang penting saat itu aku merasa bahagia dapat selalu dengannya.
“kuda-pat memiliki hatimu dan meraih cintamu”. Jingga melanjutkan jawabannya dengan suara syahdu sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Pada saat itu jiwaku seakan melayang terbang bersamanya mengarungi samudera lepas.
Kini semua kisah itu hanyalah sisa-sisa puing kenangan. Namun aku akan selalu mencoba bangkit menghadapi realitas hidup ini. Aku akan mencoba mengukir kisah cinta baru di hari yang banyak disebut oleh orang-orang adalah hari kasih sayang ini. Valentine’s Day.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar