Dimuat Galamedia, 28 Agustus 2008.
Lazimnya, pada bulan Ramadhan, orang membangunkan sahur dengan cara berteriak atau memukul beduk keliling kampung. Tapi berbeda dengan wilayah pantai utara, Indramayu dan Cirebon. Di daerah pantura ini bukan saja terkena dengan beragam kekayaan laut yang melimpah, tetapi juga beragam tradisi unik ada di sana. Di sana, menjelang sahur akan ramai dengan suara nyanyian yang diiringi musik oleh suatu rombongan yang berkeliling. Bulan Ramadhan kota Indramayu dan Cirebon semarak dengan hingar-bingar musik dari kesenian obrog. Warga di daerah pantai utara (pantura) ini “dibangunkan” dari tidurnya untuk melaksanakan sahur dengan bunyi musik yang khas. Fenomena obrog, sebagai sebuah seni tradisi sangat menarik untuk ditelisik, khususnya pada perubahan media (alat musik), bentuk, dan pergeseran fungsinya.
Apa itu obrog? Nama obrog berasal dari bunyi alat musik yang sering dipakai, semacam kendang/gendang. Tidak diketahui dengan pasti kapan kesenian ini tercipta. Obrog merupakan kesenian yang banyak ditemui selama bulan Ramadhan. Selama sebulan penuh, rombongan musik obrog berkeliling dari desa ke desa guna membangunkan warga untuk segera begegas makan sahur. Mereka menyusuri desa-desa dengan memainkan alat-alat musik dan bernyanyi pagi-pagi buta. Biasanya beraksi mulai pukul 2 atau 3 dini hari.
Alat-alat musik yang dimainkan oleh rombongan obrog, dahulu berupa alat-alat musik tradisional. Sekarang rombongan obrog bermain dengan menggunakan alat musik modern. Mulai dari gitar elektrik, bass, organ, tamborin, dilengkapi dengan sound system yang didorong di atas roda. Ada juga rombongan obrog yang menyediakan panggung mini yang didorong di atas roda. Para biduannya juga banyak yang membawakan lagu-lagu dangdut kontemporer. Mirip sebuah grup organ tunggal. Pada tahun 1985-an, obrog banyak dimainkan oleh grup dangdut kelas pinggiran dengan perangkat musik yang lengkap. Teknologi karaoke yang marak pada 1990-an turut mewarnai perkembangan obrog. Beberapa tahun belakangan obrog banyak dimainkan dengan organ tunggal. Pada saat bulan puasa tiba, grup obrog menjamur di sekitar wilayah pantura. Satu grup obrog biasanya masih terikat hubungan kerabat. Dahulu para pelakunya melulu kaum laki-laki. Ini disebabkan karena kaum perempuan dianggap tabu untuk keluar malam oleh masyarakat. Namun sekarang rombongan obrog banyak menyertakan perempuan di dalamnya, terutama yang bertindak sebagai seorang biduan.
Perubahan
Perubahan-perubahan ini memang wajar. Obrog bukanlah produk kesenian yang sakral. Ia dapat berubah sesuai dengan keadaan dan tuntutan zaman, serta keinginan/selera masyarakat pendukungnya. Penggunaan alat-alat musik modern adalah bentuk tuntutan zaman yang diikuti oleh para pelaku seni ini. Hal lain yang unik dari obrog, yaitu saat Idul Fitri (Lebaran) tiba, masyarakat akan memberi uang, beras, atau makanan sebagai ucapan terima kasih karena mereka telah dibangunkan sahur selama bulan puasa. Ini adalah wujud hubungan timbal-balik antara pelaku seni obrog dan masyarakat.
Setiap kegiatan seni memiliki sebuah fungsi. Edi Sedyawati (2006: 366) menyebutkan fungsi seni, yaitu: sebagai penyalur kekuatan adi-kodrati; penyalur bakti kepada Tuhan (religius); melestarikan warisan nenek moyang; sarana atau komponen pendidikan; kegiatan bersenang dan berhibur; sarana pencaharian hidup. Di masa lalu obrog erat sekali dengan fungsi penyalur bakti pada Tuhan (religius). Tujuan utama obrog adalah membangunkan orang untuk bersantap sahur. Secara langsung mereka juga berperan mengajak orang untuk beribadah. Selain itu, obrog menjadi media komunikasi sosial masyarakat. Namun, kini fungsi tersebut perlahan telah bergeser. Fungsinya kini lebih kepada sarana pencaharian hidup (ekonomis/komersil). Kebanyakan rombongan obrog berkeliling untuk meraup penghasilan. Biasanya mereka menarik uang/saweran untuk permintaan sebuah lagu.
Awalnya, nilai dari penganut obrog adalah pengabdian. Seiring dengan perkembangan zaman yang menjadi semakin praktis maka orang juga akan berpikir semakin praktis. Pada akhirnya penganut obrog akan berpikir ekonomi supaya mendapatkan penghasilan melalui obrog. Lazimnya, rombongan obrog memulai aksinya pada pukul 2 dini hari. Namun sekarang karena tujuan komersil tadi, banyak rombongan yang memulai berkeliling dari pukul 22.00, jauh sebelum waktu sahur tiba. Mereka adu cepat untuk berangkat ngobrog keliling kampung, dan tentunya memilih tempat kunjungan yang “tepat”. Generasi penerus perlu mengetahui fungsi utama obrog, yakni religius (beramal). Jangan sampai fungsi utama ini hilang begitu saja, dan tergantikan oleh makna materil (mencari uang) semata. Sudah sepatutnya obrog dikembalikan ke makna semula, yaitu beramal. Mudah-mudahan kesenian unik yang ada setiap bulan Ramadhan ini tetap lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar