Rabu, 12 November 2008

SEPERTI BULAN DAN BINTANG

Seperti Bulan dan Bintang
Oleh: Lasinta Ari Nendra Wibawa

Seperti bulan dia mendekap tubuhku
Membawaku ke dalam mimpi terindahku
Mampukah aku berpaling jauh darinya
Tanpa dustai cintaku untuk diriNya

Seperti bintang dia membelai hatiku
Merasuki tiap bilik dalam sukmaku
Mampukah aku meraih cinta kasihnya
Tanpa lukai cinta kasihku untukNya *


Seandainya kisahku dikemas dalam sebuah cerita, kuingin lagu “Seperti Bulan dan Bintang” karya Ari Nendra yang menjadi sound-tracknya. Kau tahu kenapa? Tidak lain karena reffrain lagu ini cukup mewakili kisah nyata yang aku jalani. Anehnya, kejadiannya sama dengan saat pembuatan lagu ini.
Saat itu, aku ditawari cinta oleh hari-hari yang lewat seperti biasa. Aku menyebutnya cinta kedua karena menurutku cinta pertama adalah dari sesosok wanita anggun yang senantiasa memberikan bunga kasih sayang dalam setiap denyut napasnya, menyambut kehadiran kita untuk pertama kalinya di muka bumi yang mulai renta, dan di bawah kakinya tercium aroma surga.
Tapi jujur, aku tak tahu itu cinta atau bukan karena cinta dan birahi hampir tak nampak tapal batasnya. Sama saja membedakan areal di tengah hutan yang dipisahkan oleh benang hitam jam dua belas malam. Meski hati kecilku mengatakan, “Cinta itu seperti jalinan antara daun dan akar pepohonan. Jika suatu saat daun gugur, akar pepohonan akan merengkuhnya menjadi tunas-tunas sewarna harapan. Bukan malah membusukkan diri lalu terurai di perut bumi”.
Entah kenapa saat itu waktu enggan mengulurkan tangan untuk semakin mengenalkanku pada aroma parfum yang dipakainya. Atau sekedar mengabadikan momen-momen penting di mana ia mewarnai angkasa dengan senyumnya yang bermuatan cinta dan pesona.
“Aduh, manisnya,” teriaknya saat ia mengamati kupu-kupu yang hinggap di atas kelopak bunga mawar di taman sekolah. Ia mengagumi sentuhan kupu-kupu yang lembut dan penuh cinta tanpa merusak putiknya. Ia tak menyadari kalau aku sedang mengamatinya lekat-lekat di atas balkon, di lantai dua dengan memendam rindu yang membukit dan mulai membatu.
“Wahai, kupu-kupu! Seandainya kau menjelma menjadi seorang manusia yang bersahaja sekalipun. Aku akan tetap berhasrat untuk merebahkan segenap kasihku kepadamu,” ucapnya penuh makna. “Karena aku yakin kau pasti akan menjaga ikatan cinta tanpa menodainya seperti halnya lelaki di dunia ini. Aku telah menyaksikan nafsu-nafsu yang membara dalam diri lelaki yang takkan mampu diredam oleh akal sehat manapun”.
“Seandainya kau juga tahu akan kesunyianku di belantara kehidupan ini, kau pasti akan rela memberikan sepasang sayapmu untuk melepaskanku dari kenyataan yang menghampiriku dan membawaku terbang ke angkasa. Betapa kesunyian telah melekat dalam urat-urat nadiku, kupu-kupu!. Aku telah kehilangan kasih sayang dari seorang bunda yang dulu tak pernah usai mengalirkan mata air cinta membasuh kepedihan-kepedihanku. Sedang ayah yang masih tersisa untukku telah lalai dan larut dalam bisnis yang digelutinya. Mungkin, ayah berpikir bila harta mampu meniupkan kedamaian bagiku,” ucapnya sambil menahan isak yang hampir membuatku ikut menangis.
Sejenak ia mendongak ke arah barat. Matahari hendak berkemas untuk menghilang dari batas cakrawala, malam akan kembali bertahta. Aura sunyi pun bertiup penuh luka. “Malam hampir memijakkan kakinya, kupu-kupu! Aku harus pulang sekarang. Tapi kamu janji, ya! Akan menemuiku lagi di taman ini”.
“Mungkin, aku akan seperti matahari itu. Pernah berpendar di atas bumi namun akhirnya akan tenggelam dalam mimpi keabadian,” bisiknya lirih. “Demikian juga denganmu, kupu-kupu”. Setelah mengatakan kalimat itu, ia kemudian bergegas meninggalkan taman dengan langkah yang agak berat. Aku masih sempat melihat derum mobilnya menderu meninggalkan areal kampus.
Setelah peristiwa sore itu, aku tak pernah bersua lagi dengannya. Sampai kemudian aku mendengar burung gagak meniupkan sepenggal berita duka pada para kafilah bumi. Dan nama itu, nama yang dipilihnya adalah nama yang hampir terpahat indah dalam semenanjung hatiku.
Cukup lama mendung bergelayut di mataku. Hingga aku bisa memetik seuntai bias pelangi di antara hujan yang mewarnai hari-hariku. Mungkin, jika aku sempat mengajak mawar itu dalam pendakianku, durinya pasti akan merenggangkan pegangan tanganku. Seandainya kutinggalkan, pendakianku takkan nikmat karena wajahku akan selalu kutolehkan ke belakang.


***


Sore itu, aku mendatangi taman di mana dulu ia bercakap-cakap dengan kupu-kupu. Kulihat kupu-kupu itu masih berkeliaran di sekitar taman. Ia kelihatan resah karena gadis yang dulu pernah bercakap-cakap dengannya tidak memenuhi janjinya. “Aku tahu aku bukan lelaki sebaik yang ia mau. Namun, aku juga bukan lelaki seburuk yang ia tahu. Sampaikan salam hangatku untuknya,” ucapku pada kupu-kupu itu.


Tidak ada komentar: